Minggu, 24 Januari 2010

JANJI

Sore saya melakukan presentasi dalam sebuah konferensi di Washington DC. Dan seperti sebuah takdir, saya bertemu dengan Bucky Fuller sahabat saya, memimpin sebuah presentasi di ruang konferensi yang lain di hotel yang sama.

Setelah presentasi selesai, saya menuju ke ballroom untuk mendengarkan ceramah Bucky. Saya dari dulu kagum dengan Bucky yang bertubuh kecil dalam usia delapan puluhan – jauh di atas saya, tetapi pikirannya masih jernih, sangat bijaksana dan penuh semangat. Saat konferensi usai, kami berjalan bersama menuju ke parkir di lantai dasar tempat mobil limousine bandara menunggunya.

"Saya harus ke kota New York malam ini untuk mengadakan presentasi yang lain," katanya sambil menatap saya dengan gelisah, tidak seperti biasanya.

"Kamu tahu Annie sedang sakit dan saya sangat kuatir."

Kami berpelukan.

Bucky Fuller pernah menceritakan sebuah rahasia pada saya bahwa dia telah berjanji pada istrinya Annie untuk meninggal lebih dahulu, sehingga dia mempersiapkan sebuah penyambutan untuk istrinya di surga - sebagai ganti Annie yang sudah setia melayaninya selama hidup di dunia. Saya menganggap pernyataan itu sebagai sebuah harapan bukan sebuah komitmen. Itu menunjukkan betapa saya meremehkannya.

Singkatnya, setelah Buck presentasi di New York, dia segera menuju rumah sakit di Los Angeles karena isterinya jatuh koma. Dokter merasa bahwa masih ada kesempatan karena Annie cepat mendapat penanganan yang tepat di rumah sakit.

Buck segera mencari penerbangan pertama yang bisa dia temukan dari kota New York. Saat tiba di Los Angeles, dia segera menuju ke kamar Annie. Buck duduk di samping tempat tidurnya, dan menutup matanya.

Dan Buck meninggal dengan tenang.

Kekuatan untuk memilih kehidupan adalah sesuatu yang diperlihatkan oleh Buck. Bahkan dia memiliki kekuatan untuk meninggal pada saatnya, dengan tenang, dengan tangan terbuka kepada alam semesta yang dia layani. Sebuah kesederhanaan untuk berani melangkah ke depan

Tak lama kemudian, Annie menyusulnya meninggal dengan tenang. Buck telah megang janjinya. Dia sedang menunggu Annie di surga.

JADILAH PELITA

Pada suatu malam, seorang buta berpamitan pulang dari rumah sahabatnya. Sang
sahabat membekalinya dengan sebuah lentera pelita. Orang buta itu terbahak
berkata: "Buat apa saya bawa pelita? Kan sama saja buat saya! Saya bisa pulang
kok."



Dengan lembut sahabatnya menjawab, "Ini agar orang lain bisa melihat kamu, biar
mereka tidak menabrakmu." Akhirnya orang buta itu setuju untuk membawa pelita
tersebut. Tak berapa lama, dalam perjalanan, seorang pejalan menabrak si buta.
Dalam kagetnya, ia mengomel, "Hei, kamu kan punya mata! Beri jalan buat orang
buta dong!" Tanpa berbalas sapa, mereka pun saling berlalu.



Lebih lanjut, seorang pejalan lainnya menabrak si buta. Kali ini si buta
bertambah marah, "Apa kamu buta? Tidak bisa lihat ya? Aku bawa pelita ini supaya
kamu bisa lihat!" Pejalan itu menukas, "Kamu yang buta! Apa kamu tidak lihat,
pelitamu sudah padam!" Si buta tertegun.. Menyadari situasi itu, penabraknya
meminta maaf, "Oh, maaf, sayalah yang 'buta', saya tidak melihat bahwa Anda
adalah orang buta." Si buta tersipu menjawab, "Tidak apa-apa, maafkan saya juga
atas kata-kata kasar saya." Dengan tulus, si penabrak membantu menyalakan
kembali pelita yang dibawa si buta. Mereka pun melanjutkan perjalanan
masing-masing.



Dalam perjalanan selanjutnya, ada lagi pejalan yang menabrak orang buta kita.
Kali ini, si buta lebih berhati-hati, dia bertanya dengan santun, "Maaf, apakah
pelita saya padam?" Penabraknya menjawab, "Lho, saya justru mau menanyakan hal
yang sama." Senyap sejenak. secara berbarengan mereka bertanya, "Apakah Anda
orang buta?" Secara serempak pun mereka menjawab, "Iya.," sembari meledak dalam
tawa. Mereka pun berupaya saling membantu menemukan kembali pelita mereka yang
berjatuhan sehabis bertabrakan.



Pada waktu itu juga, seseorang lewat. Dalam keremangan malam, nyaris saja ia
menubruk kedua orang yang sedang mencari-cari pelita tersebut. Ia pun berlalu,
tanpa mengetahui bahwa mereka adalah orang buta. Timbul pikiran dalam benak
orang ini, "Rasanya saya perlu membawa pelita juga, jadi saya bisa melihat jalan
dengan lebih baik, orang lain juga bisa ikut melihat jalan mereka."



Pelita melambangkan terang kebijaksanaan. Membawa pelita berarti menjalankan
kebijaksanaan dalam hidup. Pelita, sama halnya dengan kebijaksanaan, melindungi
kita dan pihak lain dari berbagai aral rintangan (tabrakan!).



Si buta pertama mewakili mereka yang terselubungi kegelapan batin, keangkuhan,
kebebalan, ego, dan kemarahan. Selalu menunjuk ke arah orang lain, tidak sadar
bahwa lebih banyak jarinya yang menunjuk ke arah dirinya sendiri. Dalam
perjalanan "pulang", ia belajar menjadi bijak melalui peristiwa demi peristiwa
yang dialaminya. Ia menjadi lebih rendah hati karena menyadari kebutaannya dan
dengan adanya belas kasih dari pihak lain. Ia juga belajar menjadi pemaaf.



Penabrak pertama mewakili orang-orang pada umumnya, yang kurang kesadaran, yang
kurang peduli. Kadang, mereka memilih untuk "membuta" walaupun mereka bisa
melihat.



Penabrak kedua mewakili mereka yang seolah bertentangan dengan kita, yang
sebetulnya menunjukkan kekeliruan kita, sengaja atau tidak sengaja. Mereka bisa
menjadi guru-guru terbaik kita. Tak seorang pun yang mau jadi buta, sudah
selayaknya kita saling memaklumi dan saling membantu.



Orang buta kedua mewakili mereka yang sama-sama gelap batin dengan kita. Betapa
sulitnya menyalakan pelita kalau kita bahkan tidak bisa melihat pelitanya. Orang
buta sulit menuntun orang buta lainnya. Itulah pentingnya untuk terus belajar
agar kita menjadi makin melek, semakin bijaksana.



Orang terakhir yang lewat mewakili mereka yang cukup sadar akan pentingnya
memiliki pelita kebijaksanaan.



Sudahkah kita sulut pelita dalam diri kita masing-masing? Jika sudah, apakah
nyalanya masih terang, atau bahkan nyaris padam? JADILAH PELITA, bagi diri kita
sendiri dan sekitar kita.



Sebuah pepatah berusia 25 abad mengatakan: Sejuta pelita dapat dinyalakan dari
sebuah pelita, dan nyala pelita pertama tidak akan meredup. Pelita kebijaksanaan
pun, tak kan pernah habis terbagi.



Bila mata tanpa penghalang, hasilnya adalah penglihatan. Jika telinga tanpa
penghalang, hasilnya adalah pendengaran. Hidung yang tanpa penghalang membuahkan
penciuman. Fikiran yang tanpa penghalang hasilnya adalah kebijaksanaan.